Malam Toleransi Terlihat malam sudah mulai menguasai sore, terasa gelap tapi disekeliling masih banyak sekali orang-orang yan...
Malam Toleransi
Terlihat malam sudah mulai menguasai sore, terasa gelap tapi disekeliling masih banyak sekali orang-orang yang pergi kemasjid, katanya si itu hari romadhon. Terlihat beberapa orang bermain petasan di depan masjid dari yang kecil sampai yang besar semuanya ada lengkap untuk menyambut bulan itu.
Malam itu Nampak menjadi malam yang spesial
bagi umat muslim, banyak sekali petasan-petasan yang berterbangan ke atas
langit yang gelap seranya Nampak indah dihiasi petasan yang berterbangan warna merah kuning hijau pun Nampak menghiasi panorama
keindahan dimalam itu. Ini sudah menjadi pesta tahunan didaerah pecinan
walaupun ini sebenarnya perayaan bagi umat muslim disini sudah menjadi hal yang
biasa jika warga non muslim juga banyak yang mengrumuni. seakan ini memang pesta bersama tak ada sikap sinisme di kalangan ini,
inilah gambaran keakuran di tempat ini.
Pukul 09;00 pm pesta penyambutan hari
romadhonpun kelar warga-warga sekitarpun mulai beranjak pulang ke rumah dan ada
juga yang menuju masjid untuk membaca Al Quran, tapi tidak dengan aku dan juga
satu sahabatku yang bernama dafi, kita mempunyai jadwal sendiri seperti biasa
kita mampir dulu ke KFC (kucingan food center) yang berada disamping masjid,
terlihat ramai sekali akupun sembari mencari tempat duduk tapi malang nasib menimpa kita pada malam itu, kucoba
tengok kanan kiri depan belakang tapi memang tempatnya penuh semua, ya sudahlah
dengan terpaksa kami bungkus aja lah, setelah itu kami menyantap tu makanan di
depan masjid sambil menikmati nestapa bau sate kambing hemm sedap.
Tidak terasa waktu seranya berputar dengan
kecepan tinggi sehingga terasa singkat sekali rasa nikmat kemesraan diantara
kami, maklumlah sudah lama kami menjadi saudara walupun kami beda kepercayaan,
jadi setiap ada peranyaan dari umat muslim maupun non muslim itu sudah menjadi
peranyaan bersama di daerah ini.
Akupun kembali ke gubug tuaku yang berada
di sebelah gereja, orang tuaku adalah ketua yayasan gereja santo jadinya
otomotis rumahku juga tidak jauh dari lokasi gereja, akupun harus berpisah
dengan sahabatku ini, kata dia malam ini ingin tidur dimasjid, sahabatku ini
memang seorang muslim yang sangat taat, setiap bulan puasa dia pasti pulang
pagi-pagi terus kata dia si membaca Al Quran, tapi entahlah aku tidak mau masuk
terlalu dalam di hal itu.
Pagipun mulai menggantikan malam seraya
terdengar bunyi ayam yang berkokok mulai membangunkan keluargaku, seperti biasa
kami langsng menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke warung ayahku,
setelah semuanya siap ayah dan ibu pergi duluan ke warung, sementara aku mandi
dulu dan menyiapkan makanan untuk adiku, jam 06;00 aku harus membangunkan adik
aku yang memang masih kecil, setelah semunya siap aku bergegas mengantarkan
adik aku ke sekolahan santo Michael yang berada disebrang perbatasan desa
pecinan dengan kauman.
Setelah misi aku tuntas mengantarkan adik
sampai sekolahan akupun bergegas pulang karna aku harus menonton film kartun
kesukaanku terlebih dahulu sebelum menyusul ayah dan ibu, setelah lekas
menonton film kartun kesukaanku baru aku ke warung kira-kira jam 9 aku menuju
ke sana,entah kenapa hati ini terasa gusar ingin segera menyusul ayah dan ibu,
jam sudah menandakan 08:55 aku harus bergegas dan menyiapkan barang yang harus
aku bawa.
Jam 09:00 tepat aku pergi dari rumah
menyusul ayah dan ibu kewarung terlihat ada sesuatu yang aneh ketika aku sampai
dikawasan warung ayah berjualan, terlihat banyak sekali warung-warung yang
berantakan, aku toleh kanan kiri terlihat sama aku semakin penasaran melihat
lusuh tangis para semua penjaga warung yang hari itu berjualan, rasa
penasaranpun semakin bertambah, aku tambah kecepatan motor yang aku kendarai ini untuk cepat-cepat melihat
keadaan warung ayah.
Dari kejauhan Nampak banyak kerumunan orang
berbaju putih dengan memakai pecis dan surban di warung ayahku, seratus mungkin
lebih Nampak berada di depan warung ayahku dan sebagian ada yang masuk ke dalam
warung, aku hentikan motorku sejenak sambil melihat dari kejahuan apa yang
terjadi disana, aku agak curiga karna banyak sekali orang-orang yang membawa
senjata berada disitu .
Tidak lama kemudian salah satu dari mereka
memecah kaca warung ayahku terlihat ibuku keluar dengan tangis disusul ayah aku
yang terlihat di jidadnya sudah banyak terlumuri darah. Ibu dan ayahpun sekuat
mungkin menyelamatkan barang-barang yang bisa diselamatkan, aku segera menyusul
kedua orang tuaku itu dengan membawa bambu di tanganku, aku tidak terima apa
yang dilakukan meraka ke orang tuaku, sesekali aku menganyunkan bambuku ini
kepada meraka namun usahaku itu percuma, mereka kembali menyerangku tak
terhitung barang tumpul yang dibawa mereka mendarat di tubuhku.
Dan saat itu hanya tangis dendam yang bisa
kami lakukan, mereka satu persatu pergi entah kemana tak ada pesan atau kata
apa salah kami, aku tak tega melihat kedua orang tuaku seperti itu sungguh tak
terima, gumpalan dendam kepada orang muslim saat itu mulai tertanam setelah apa
yang mereka lakukan kepada kami.
“nak nanti kalau adikmu bertanya tentang
keadaan kita tolong jawab kita habis jatuh dari motornya “ kata ayahku dengan nada
lirih,aku melihat raut muka ayah yang berlumur darah seakan tak tega
memandangnya, aku coba alihkan perhatian mataku ini ke ibuku trnyata sama terlihat
pucat wajahnya, seketika penyakit asma’ yang diderita ibu kambul. Aku menoleh
keayah ternyata ayahku juga sudah pingsan, aku yang saat itu sudah tek mampu
lagi untuk menggerakan badan hanya bisa bertriak meminta pertolongan.
Seketika mata ini membuka melihat banyak
tubuhku sudah banyak yang diperban, aku melihat sahabatku dafi dengan adik aku
yang masih memakai baju sragam sekolah yang dia pakai tadi pagi, mereka
tertidur di kursi dekat tempat tidurku ini, aku menoleh kekanan terlihat ayah
masih tertidur dan juga hampir sama sepertiku banyak sekali perban yang menyelimuti
badannya.
Tubuh ini terasa kaku tak bisa digerakan,
aku panggil sahabtku dengan lirih karna takmampu bicara keras terasa ada yang
mengganjal di tnggorokan ini “daf dafi”
ku panggil dia berkali-kali, tapi suaraku ini tetap tak terdengar oleh sahabatku
ini. Akupun menggerakkan kakiku yang kebetulan tangan dafi memegang kakiku
waktu itu. Aku ,mencoba menggerakannya walupun memang tersa berat. namun
akhirnya usahaku itu tidak sia-sia, akhirnya dafi bangun dan terlihat raut muka
dia lega karna aku mulai sadar.
Aku Tanya kepada dafi “ dimana ibu aku?”,
“sudahlah ibu kamu sudah ada yang ngurusin og bentar lagi pasti sembuh, yang
penting kamu istirahat dulu biar cepat sembuh”. Ucap dafi dengan nada yang agak
halus karna saat itu adik aku sedang tidur.
Aku terasa sedikit lega melihat perkataan
dafi yang seperti itu. Aku lihat wajah adiku yang menurutku paling imut sedunia
seakan tak tega karna aku tak bisa mengantarkanya kesekolah, tak bisa membangunkannya,
menyiapkan makan pagi untuknya terasa sedih sekali melihat keadaanku yang
seperti sekarang ini.
Setelah satu minggu di ruma sakit akhirnya
kami bisa pulang kerumah lagi, satu minggu adiku menginap dirumah dafi setiap
hari dafilah yang menggantikan peranku satu minggu itu, sementara ayah dan ibu
dafi yan menggantikan ayah dan ibu selama satu minggu juga. Keluarga kami
memang sudah sangat dekat jadi tak masalah jika adiku menginap dirumah dafi,
karna dafi juga kadang sering banget nginep dirumah aku.
Setelah tiba dirumah rasa sakit hati ini
masih terbawa rasa dendam yang selalu menyelimuti. Apa salah kami kepada mereka
?, kamipun selalu bertanya-tanya seperti itu karna memang kami tak tau salah
kami apa, apa gara-gara kami jualan saat bulan romadhon yang menyebabkan mereka
menghancurkan warung kami?. tak lama kemudian aku dan orang tuaku pergi kerumah
dafi untuk meminta penjelasan siapakah yang menyerang kami pada waktu itu dan
sekaligus bertrimakasih karna sudah banyak membantu keluarga kami, tapi ayah
dafi enggan berkomentar lebih dalam tentang oramas itu, entah mengapa tapi
kamipun juga tak bisa memaksanya untuk bicara.
Ayah dafi yang sebenernya ustadz kampong
juga meminta maaf kepada kami dan menjelaskan karna kelakuan oramas yang
mengatas namakan islam sebagai pijakanya itu sudah sewena-wena menghakimi kami.
Dan sebenarnya ormas yang mengatas namakan islam itu tidak berasal dari daerah
itu sendiri, tapi daerah lain entah dimana.
Melihat penjelasan ayah dafi yang seperti
itu, rasa dendam itu sangat susah untuk dihilangan, setelah kejadian itu
dikampung kami muncul gejolak sinisme antara umat islam dengan orang yang non
islam, terasa keakuran yang dulu kami rasakan tidak Nampak kembali, karna
terdapat rasa yang saling mencurigai diantara mereka.
Pada akhirnya kami harus pergi daru kampong
tercinta itu, demi menghidari konflik yang semakin memanas,terasa berat
perpisahan ini dengan sahabatku yang sangat baik ini, sebelum kami pergi kami
lebih dulu berpamitan kerumah keluarga dafi, karna keluarga dafi sudah seperti
keluarga kami sendiri.
Peluk tangis terjadi antara aku dan
sahabatku ini, sahabatku ini mengucapakan kata lirih ke telingaku “jangan
memusuhi aku ya, walaupun agamaku islam”, aku tercengang kaget mendengar kata
dafi yang seperti itu”. Aku sumbari membalaskatanya “ aku tak akan memusuhimu
dan juga umat muslim yang lainnya, karna yang melakukan itu bukanlah umat
islam”.
Setelah itu dafi dan aku masing-masing
mempunyai jalan sendiri dafi sebagai muslim yang taat dan aku sebagai umat
nasrani yang taat pula, kami berjanji kalak kalau menjadi orang yang besar akan
mendamaikan semuaitu dan tak akan melukai satu sama lain.
By: M Dafi Yusuf
COMMENTS